Rabu, 26 Juni 2013

Sebuah Pendakian



Layaknya sebuah pendakian, maka hari-hari yang kita lalui dalam lorong waktu ini adalah sebuah pendakian menuju puncak kemuliaan. Akan kita temukan di sana tebing-tebing yang terjal, bebatuan cadas yang rancak melukai kaki. Bahkan setiap saat maut mengintai garang dari segala sisi.
Tapi, kita tidak boleh berhenti betapapun beratnya medan. Terlalu riskan kalau hanya mendaki sejengkal dakian. Berjalan hanya sepenggal jalan.
Sahabat…
Jangan pernah berhenti untuk berjalan dan mendaki. Ingatlah selalu. Bahagia dan derita yang datang silih berganti dengan sejuta ragamnya, itu tidak lain hanya pernak-pernik kehidupan saja. Agar hidup ini punya warna. Supaya hidup ini punya nuansa. Inti dari itu semua akan bermuara pada satu pertanyaan, apakah dengan melewati semua pernak-pernik kehidupan itu kita akan tetap setia untuk menghambakan diri pada-NYA? Moga saja. Aamiin.

Pentas Seni (Amanah)



Ternyata, kita tidak lebih dari kumpulan hari-hari yang berbilang. Satu hari yang berlalu dalam hidup kita adalah satu hari dari keberlaluan kita. Bahkan, satu kali tarikan napas kita adalah satu langkah menuju ajal kita. Tentunya kita tak mau virus waktu yang terus memakan batang usia kita ini membuat kita sedih tak beralasan. Lalu berhenti memainkan lakon kita di pentas ini. Tidak. Pentas kehidupan ini harus berlanjut. Karena hidup ini adalah amanah.
Ya. Dunia ini memang pentas amanah. Sebab kita semua telah meneken kontrak ‘sanggup’ dengan Allah untuk memikul amanah ini. Di saat langit, gunung, matahari dan peserta alam lainnya ‘enggan dan berat’ untuk memikulnya. Ya hanya kita yang sanggup memikulnya. “ kata manusia dulunya”
Kalau demikian adanya, maka kita harus punya sifat amanah dalam pentas amanah ini. Dengan demikian, waktu yang berhak kita klaim sebagai umur kita, sejatinya adalah waktu-waktu yang kita gunakan untuk melaksanakan amanah itu. Selain itu maka ia bukan umur kita.

Pengadilan Sunyi

 
Sahabat…
Duduk dan merunduklah. Sejenak saja. Karena hanya engkau yang berhak atas dirimu. Sebelum mata beningmu mendekap gelap, dan ruhmu mengembara di antara taman-taman dan padang-padang mimpi.
Coba hadirkan sejenak file-file wujud kita. Sejak jiwa dan raga kita bersua tadi pagi. Sampai akan berpisah lagi, kontribusi apa yang telah kita berikan untuk kehidupan ini, kejayaan Islam, kemanusiaan dan bekal negeri abadi kita?
Mari berhitung sesaat. Karena kita tidak mau mejadi pedagang yang rugi dan bangkrut nantinya. Sejatinya, introspeksi diri (muhasabatunnafsi) adalah pengadilan sunyi seorang diri hamba di hadapan Ilahi. Hanya kita yang mengetahui A-Z diri ini. Hanya kita sendiri yang tahu buruknya diri ini. Maka jujurlah selalu pada-Nya.

Memulai Dari Akhir

 Setiap tindakan kita pasti ada motif (niat) yang mendasarinya. Niat itu letaknya di awal perbuatan. Tapi, niat sendiri menunjukkan tujuan. Sedangkan tujuan itu letaknya di akhir. Apa arti dari ini semua?
Artinya, ‘mulailah dari akhir.’ Begini maksudnya, dalam hidup ini kita harus antisipatif. Orang yang antisipatif itu cirinya adalah selalu sedia payung sebelum hujan. Selalu berpikir ‘nanti bagaimana’ bukan berpikir ‘bagaimana nanti’.
Ia akan terbang menembus dan melintasi lorong-lorong waktu. Menuju masa depannya. Menghadirkan diri di tujuan akhirnya. Sebelum akibat dari sebuah sebab terjadi, ia seakan-akan telah atau sedang mengalaminya.
Nah, dari akibat itulah ia mulai berbenah diri. Lalu mengambil langkah untuk beraksi. Akhirnya, ia pun mengerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya. Agar tidak ada tangis penyesalan, kerugian, dan kegagalan serta duka nestapa di kemudian harinya. Otak cerdasnya harus mampu mengalahkan godaan nafsunya. Ia tidak mau keteledoran dan kesalahan yang dibuatnya berujung pada kegagalan dan penyesalan yang berkepanjangan. Gagal dalam meraih dan mengukir prestasinya di dunia. Terlebih lagi gagal dalam meraih kesuksesannya di akhirat nanti.
Ayo. Tidak ada pilihan lain kalau begitu. Kita harus jadi orang yang sukses dan suksesi dalam hidup ini. Berjuang di dunia untuk berharap pertemuan di surga-NYA. Aamiin.

Jangan Menjajah Diri Sendiri



Tidak ada penderitaan melebihi pahitnya dijajah diri sendiri. Terlebih lagi bagi yang tidak menyadari. Sebab sejatinya dosa, kesalahan, maksiat, jalan hidup yang menyimpang dari aturan Ar-Rahman, adalah bentuk penjajahan atas diri sendiri. Sebab tidak ada perbuatan yang tak terbalas. Baik dan buruknya. Kecil dan besarnya. Tampak dan tersembunyinya.
Ya. Sejatinya semua dosa dan maksiat yang kita lakukan adalah bentuk penjajahan atas diri kita sendiri. Yang akumulasinya mengkristal dalam kegalauan dan kegersangan hati. Hidup tidak tenang dan nyaman. Betapapun dunia berada dalam genggaman.
Ada sepi yang menggelayuti hati. Sepi tak terperi. Ada duka yang menoreh jiwa. Duka tak terkira. Mungkin, kita bisa menghibur diri dengan kidung-kidung ria dan bait-bait indah puisi. Tapi semuanya nihil. Imitasi. Atau juga bersembunyi di balik benteng istana dunia yang rapuh bak sarang laba-laba. Semuanya tak berarti. Sama sekali. Sebab tidak ada jalan lain untuk merdeka dari penjajahan ini, selain dengan menyadari, mengakui dan tulus mau kembali pada pangkuan Ilahi.
Sudah saatnya untuk memerdekakan diri. Hapus tirani. Jangan lagi jadi diktator atau koloni atas diri sendiri.